Tuesday, October 29, 2013

RISALAH HAID KHUSUS UNTUK WANITA

March 9, 2011 at 3:36pm
My Blog

http://darjah.blog.friendster.com/2007/02/risalah-haid-khusus-untuk-wanita/

RISALAH HAID KHUSUS UNTUK WANITA

Written on February 23, 2007 – 6:17 pm | by darjah

Risalah Lengkap Tentang Haid dan Hukum-Hukum Seputarnya (Plus Cara Mandi Besar) 

Written by Naning Ariyanto


Banyak
wanita yang bingung dengan masa haidnya, ada yang bilang haidnya
terputus-putus, sampai dia harus keramas beberapa kali. Ada yang
mengalami perubahan siklus, kadang maju kadang mundur. Bahkan banyak
juga wanita yang masih bingung membedakan antara darah haid dan
istihadhah. Tulisan dibawah ini berusaha mengupas lebih detail tentang
darah-darah kebiasaan wanita diatas. Berilmu tentangnya sangat
diperlukan bagi wanita, karena hukum-hukum seputar darah tersebut
berkaitan langsung dengan hukum shalat, puasa, haji, pernikahan dan
warisan. Cukup lah yang disebut wanita cerdas itu wanita yang tahu
kebutuhan dirinya untuk akhiratnya.
Haid dan Hikmahnya

Menurut
bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut istilah Syara’
ialah darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena sesuatu
sebab, dan pada waktu tertentu. Pembatasan pada pengertian terakhir ini
sangat diperlukan, untuk dapat membedakan antara darah haid, istihadhah
dan nifas. Dimana ketiganya lazim dialami oleh kaum wanita. Darah haid
bersifat normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran
atau pun kelahiran.

Seperti yang kita ketahui, darah haid
berasal dari penebalan dinding rahim untuk mempersiapkan proses
pembentukan janin yang nantinya berfungsi sebagai sumber makanan bagi
janin yang ada dalam kandungan seorang ibu. Oleh karenanya, seorang
wanita yang hamil, tidak akan mendapatkan haid lagi, Begitu juga dengan
wanita yang menyusui, biasanya tidak akan mendapatkannya terutama
diawal masa penyusuan. Adapun hikmah yang bisa kita petik didalamnya
adalah Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baiknya pencipta, yang telah
menciptakan gumpalan darah di rahim seorang ibu sebagai sumber makanan
instant bagi janin didalamnya, yang tentu saja dia belum bisa mencerna
makanan apalagi mendapatkan makanan dari luar kandungan. Maha Bijaksana
Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah mengeluarkan darah tersebut dari
rahim seorang wanita yang tidak hamil melalui siklus haid karena memang
tidak membutuhkannya. Dengan begitu, kondisi rahim seorang wanita akan
selalu siap bila ada janin didalamnya.
Usia dan Masa Haid

Haid
pada umumnya dialami oleh seorang wanita pada usia antara 12 sampai
dengan 50 tahun, walaupun hal ini bukanlah batasan yang pasti. Para
ulama, rahimahullah, berbeda pendapat tentang hal ini. Ad-Darimi,
setelah menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah tersebut,
menyatakan: "Hal ini semua, menurut saya, keliru. Sebab yang menjadi
acuan adalah keberadaan darah. Seberapapun adanya, dalam kondisi
bagaimanapun, dan pada usia berapa pun, darah tersebut wajib dihukumi
sebagai darah haid. Wallahu a’lam." Pendapat ini didukung oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah. Jadi usia haid tergantung dengan keberadaan darah
haid itu sendiri, tidak dibatasi usia tertentu. Dan ini menjadi
sandaran hukum atasnya karena memang tidak ada dalil yang memastikan
pembatasan usia wanita yang mengalami haid.

Adapun masa
terjadinya haid, para ulama juga berbeda pendapat. Ibnu Mundzir
mengatakan: "Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak
mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya". Pendapat ini
didukung juga oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan memang itulah yang
benar berdasarkan Al Qur’an, Sunnah dan logika. Dalil-dalilnya sebagai
berikut:

"Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
Katakanlah:"Haid itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu, hendaklah
kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu
mendekati mereka sebelum mereka suci…" (Al-Baqarah:222)
Yang dimaksud "jangan mendekati" disini adalah dilarang jima’/senggama ketika wanita tersebut sedang mendapatkan haid.

Dalam
ayat diatas diterangkan oleh Allah bahwa yang menjadi batas akhir
larangan adalah "kesucian", bukan berlalunya waktu sehari, dua hari,
atau pun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa batasan masa haid
tergantung pada ada tidaknya darah tersebut, karena setelah darah
tersebut berhenti mengalir maka wanita dikatakan telah masuk masa suci.

Dalam
Shahih Muslim disebutkan bahwasannya Rasulullah Shalalahu ‘alaihi
wassalam bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika ihram
untuk umrah:
"Lakukanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di ka’bah sebelum kamu suci".
Dan berkata Aisyah:"Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci".
Hadist ini juga menyatakan bahwa yang menjadi batas akhir larangan (karena haid) adalah "kesucian" itu sendiri.

Adapun
dalil secara logika adalah, jika Allah menerangkan bahwa haid itu
kotoran, maka pada waktu kotoran itu ada, maka haid itu pun ada. Tidak
tergantung pada hukum kepastian berapa lama masanya. Jika terjadi
silang pendapat diantara ulama yang memberikan batasan berapa masa
haid, hal ini justru menunjukkan bahwa tidak ada dalil yang menjadi
patokan adanya pembatasan masa tersebut. Namun, semua itu adalah
ijtihad yang bisa benar dan juga bisa salah. Sehingga tidak ada yang
menjadi lebih baik daripada yang lainnya diantara pendapat-pendapat
tersebut. Dan kembali kepada hukum awal, jika ada perselisihan dalam
penentuan hukum syar’i maka penyelesaiannya adalah kembali kepada
kitabullah dan sunnah yang memang tidak menjelaskan adanya dalil
pembatasan masa haid. Jika memang Allah menentukan masa yang pasti
untuk haid, maka Allah dan Rasul-Nya pasti akan menjelaskan secara
gamblang, hal ini penting sekali, sebab masa haid berkaitan dengan
hukum-hukum ibadah yang lain seperti shalat, puasa, haji, nikah, talak,
warisan. Ini lah pendapat yang paling rajih di kalangan ulama. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata:

"Pada prinsipnya, setiap darah yang
keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan
bahwa darah itu Istihadhah."

Mengenai darah istihadhah dan juga
nifas akan dibahas lebih lanjut. Sehingga alangkah perlunya bagi kaum
wanita untuk dapat membedakan antara darah haid, istihadhah dan juga
nifas.
Masa Haid yang Tidak Teratur

Ada beberapa
wanita yang mengeluh masa haidnya biasanya enam sampai tujuh hari,
tetapi tiba-tiba berubah sampai lebih dari masa kelaziman tersebut. Ada
juga yang mengeluh, biasanya waktu haidnya diawal bulan, berubah
menjadi diakhir bulan. Sebagian lagi mengalami masa haid yang
terputus-putus, sehari haid, kemudian sehari berhenti, besoknya haid
lagi dan seterusnya. Untuk lebih detail akan dibahas dibawah ini
tentang kondisi-kondisi tak lazim diatas.
a. Bertambah, berkurang, maju dan mundurnya masa haid

Para
ulama berbeda pendapat dalam menghukumi ketidaklaziman ini. Namun,
bertolak dari pendapat yang paling rajih bahwa hukum haid dikaitkan
dengan keberadaan haid itu sendiri, maka pendapat yang benar adalah
seorang wanita jika mendapatkan darah (haid) maka dia berada dalam masa
haid, dan jika tidak mendapatkannya maka dia dalam keadaan suci,
meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari kebiasaannya serta maju
atau mundur dari waktu kebiasaannya.

Pendapat diatas merupakan
madzab Imam Syafi’i dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Ibnu Qudamah Al-Hanbali (pengarang kitab Al-Mughni) pun ikut menguatkan
pendapat ini dan membelanya dengan menyatakan:"Andaikata adat kebiasaan
menjadi dasar pertimbangan menurut yang disebutkan dalam madzab,
niscaya dijelaskan oleh Nabi Shalalllahu ‘alaihi wassalam kepada
umatnya dan tidak ditunda-tunda lagi penjelasannya, karena tidak
mungkin beliau menunda-nunda penjelasan pada saat dibutuhkan.
Istri-istri beliau dan kaum wanita lainnya pun mebutuhkan penjelasan
tersebut, maka beliau tidak akan mengabaikannya. Namun, ternyata tidak
ada riwayat yang menyatakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam
pernah menyebutkan tentang adat kebiasaan ini atau menjelaskannya
kecuali yang berkenaan wanita yang istihadhah saja".

b.
Darah haid yang keluar terputus-putus, misalnya, hari ini keluar, besok
tidak keluar, atau yang sejenisnya. Dalam hal ini terdapat 2 kondisi:

Kondisi
pertama, jika hal tersebut selalu terjadi pada seorang wanita setiap
waktu (bukan masa haid), maka darah itu adalah darah istihadhah, dan
berlaku baginya hukum istihadah.

Kondisi kedua, jika hal
tersebut tidak selalu terjadi atau kadangkala saja datang dan mempunyai
saat suci yang tepat (berdasarkan kebiasaannya setiap bulan), maka
menurut pendapat yang paling shahih, jika belum keluar lendir putih
sebagai tanda masa haid berakhir, masa tersebut (masa darah terputus)
masih dihukumi masa haid. Karena jika masa terputus tersebut dihukumi
masa suci hal itu pastilah akan menyulitkan penghitungan masa iddah
berdasarkan quru’ (haid dan suci), dan juga akan memberatkan karena
harus keramas beberapa kali. Padahal tiadaklah syari’at itu menyulitkan.

c.
Terjadi pengeringan darah, yakni, seorang wanita tidak mendapatkan
selain lembab atau basah saja di kemaluannya. Jika hal ini terjadi pada
saat masa haid atau bersambung dengan haid sebelum suci, maka dihukumi
sebagai haid. Tetapi jika terjadi setelah masa suci, maka tidak
termasuk haid.
Sifat Darah Haid

Darah haid pada
umumnya berwarna merah kehitaman dan berbau tidak sedap dan keluarnya
tidak mengucur seperti keluarnya urine, serta terjadi pada kelaziman
masa haid. Seorang wanita yang mendapati darahnya berwarna kuning
seperti nanah atau keruh antara kekuning-kuningan dan kehitam-hitaman,
jika hal itu terjadi pada saat masa haid atau bersambung dengan haid
sebelum suci, maka itu adalah haid dan berlaku baginya hukum-hukum
haid.Tetapi jika terjadi sesudah masa suci, maka hal itu bukan lah
darah haid. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ummu Athiyah Radhiyallahu
‘anha:
"Kami tidak menganggap apa-apa darah yang berwarna kuning atau keruh sesudah suci". (HR Abu Dawud)

Demikian
juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari tentang hadist yang menceritakan
bahwa kaum wanita pernah mengirimkan kepada Aisyah sehelai kain berisi
kapas yang terdapat padanya darah berwarna kuning. Maka Aisyah berkata:
"Janganlah tergesa-gesa sebelum kamu melihat lendir putih", yaitu cairan putih yang keluar saat habis masa haid.
Hukum-Hukum Seputar Haid


a.
Shalat, diharamkan bagi wanita haid mengerjakan shalat, baik fardhumaupun sunat dan tidak perlu meng-qadha-nya setelah suci, kecuali jika
ia mendapatkan sebagian dari waktunya sebanyak satu rakaat sempurna,
baik pada awal maupun akhir waktu shalat tersebut. Contoh pada awal
waktu, seorang wanita mendapatkan haid sesaat sebelum matahari
terbenam, dan waktu yang sesaat tadi cukup untuk melakukan satu rakaat
sempurna, maka wajib baginya untuk meng-qadha shalat maghrib yang
tertinggal tersebut setelah ia suci. Contoh di akhir waktu seorang
wanita suci dari haid sebelum matahari terbit dan masih sempat
mendapatkaan satu rakaat dari waktu tersebut, maka wajib baginya untuk
segera bersuci dan meng-qadha’ shalat shubuh yang tertinggal.
Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh muttafaqun ‘alaih bahwasannya
Rasulullah bersabda:
"Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu".


b.
Puasa, diharamkan bagi wanita haid berpuasa dan berhak meng-qadha’nyadi hari lain jika yang ditinggalkannya merupakan puasa wajib.
Berdasarkan hadist dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha:

"Ketika kami
mengalami haid, diperintahkan kepada kami meng-qadha’ puasa dan tidak
diperintahkan meng-qadha’ shalat" (Muttafaqun ‘alaih)

Seorang
wanita yang mendapatkan haid ketika dia sedang berpuasa, maka wajib
membatalkannya walaupun hal itu terjadi sesaat menjelang maghrib. Juga
jika pada saat terbitnya fajar dia masih haid maka tidak sah berpuasa,
sekalipun sesaat setelah fajar dia sudah suci. Dan sebaliknya jika
seorang wanita mendapati dirinya suci sesaat sebelum fajar, maka dia
wajib puasa (puasa wajib) walaupun baru mandi suci setelah fajar.


c.
Membaca Al-Qur’an, walaupun tidak ada dalil qath’i yang melarang wanitahaid untuk membaca Al-qur’an, tetapi banyak ulama yang mengharamkannya.
Syaikh utsaimin mengomentari perbedaan pendapat dikalangan ulama
tentang hal ini dengan mengatakan bahwa lebih utama bagi wanita haid
tidak membaca Al-Qur’an secara lisan, kecuali jika diperlukan. Misalnya
seorang guru yang sedang mengajar murid-muridnya, atau siswa yang
sedang belajar dikelas. Adapun aktivitas dzikr yang lain diperbolehkan
bahkan dianjurkan.

d. Thawaf, diharamkan bagi wanita haid
melakukan thawaf di ka’bah, baik yang wajib maupun yang sunat. Dalilnya
bisa kita baca kembali hadist Aisyah diatas.


e. Thawaf
wada’, yaitu terakhir yang dilakukan oleh jama’ah haji sebelummeninggalkan Baitullah. Diperbolehkan seorang wanita yang haid
meninggalkan thawaf ini, sebagaimana sabda Rasulullah:"Diperintahkan
kepada jamaah haji agar saat-saat terakhir bagi mereka berada di
Baitullah (melakukan thawaf wada’), hanya saja hal itu tidak dibebankan
kepada wanita haid." (Muttafaqun ‘alaih


f. Berdiam dalam
masjid, diharamkan wanita berdiam diri didalam masjid bahkan di tempatshalat ied juga. Berdasarkan hadist Ummu Athiyah r.a.:"Agar keluar para
gadis, perawan dan wanita haid…Tetapi wanita haid menjauhi tempat
shalat". (Muttafaqun ‘alaih)

g. Jima’ (senggama), diharamkan
bagi seorang suami menggauli istrinya sampai benar-benar dia dalam
keadaan suci. Diharamkan pula bagi sang istri memberi kesempatan kepada
suami untuk melakukan hal tersebut. Dalilnya dapat kita lihat kembali
dalam Qs. Al-Baqarah ayat 222 diatas. Rasulullah bersabda dalam hadist
yang diriwayatkan oleh Muslim, "Lakukan apa saja, kecuali nikah", nikah
disini adalah jima’. Adapun bercumbu diperbolehkan asal tidak sampai
jima’.

Selain hal-hal diatas, hukum haid juga berkaitan
dengan hukum-hukum warisan dan talaq yang mungkin bisa dibahas dilain
kesempatan.
Mandi Besar di Akhir Masa Haid

Wanita haid
wajib mandi setelah suci dengan membersihkan seluruh badannya.
Berdasarkan sabda Nabi SAW kepada Fatimah binti Abu Hubaisy:
"Bila kamu kedatangan haid maka tinggalkan shalat, dan bila telah suci mandilah dan kerjakan shalat." (HR. Bukhari)
Tata cara mandi sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah tatkala ditanya oleh Asma binti Syakl adalah sebagai berikut:
1. Membersihkan kedua belah tangan
2. mengambil air dan daun bidara dan berwudhu sempurna dengannya (daun bidara bisa diganti dengan sabun)
3. mengguyur air di atas kepala dengan menggosokkannya hingga merata
4. Mengguyur air pada anggota badan hingga bersih

5.
Membersihkan tempat haid dengan kain yang telah diberi pengharum
(mengikuti bekas aliran darah). Point terakhir ini lah yang membedakan
tata cara mandi besar wanita setelah haid dengan mandi besar karena
junub.
(HR. Muslim)

Dan bagi wanita yang berambut panjang
atau lebat bisa tidak melepas gelungan rambutnya, asalkan gelungan
tersebut tidak terlalu kuat sehingga air masih bisa sampai ke dasar
rambut sebagaimana yang terjadi dikalangan shahabiyah zaman dahulu
(shahih muslim). Musafir yang tidak menemukan air dalam perjalanannya,
atau orang sakit yang bila terkena air akan bertambah parah, bisa
dengan tayammum. Wallahu a’lam bi shawwab.

Maroji’:
Darah, Kebiasaan Wanita. Syaikh Utsaimin
Bulughul Maram, Ibnu Hajar Al-atsqalani
Jami’ah Ahkamun-nisa’, Syaikh Mustofa Al-Adawy. Resume kajian. 2000
Masalah Aktual Muslimah, Syaikh Bin Baz dan Syaikh Utsaimin

No comments:

Post a Comment